Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SANGKALON (Sipangan Anak Sipangan Boru)


mdaudbatubara.id, Suku Mandailing memiliki berbagai perbedaan peradaban antara satu wilayah dengan wilayah lainnya bila dicermati secara detail dan tekhnis, meskipun falsafah sumber dari segala sumber hukumnya sama yakni Holong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Kebersamaan). Bagas Godang (Istana Raja) dari tampilan fisik juga memiliki perbedaan yang menyolok di Wilayah Mandailing Godang dan Mandailing Julu terutama bentuk atap dan bindu yang menunjukkan gambaran kapasitas peradaban kerajaan, demikian pula berbagai ornamennya berbeda. Hal menarik dari peradaban ini, salah satunya adalah “Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru” (Sangkalon). 

Sangkalon secara fisik adalah perlambang dalam bentuk hasil pahatan dari kayu berupa tiga mahkluk. Pada bagian bawah perlambang dari hewan kerbau sebagai tunggangan. Kerbau tunggangan ini menunjukkan bahwa mahkluk yang duduk diatasnya meniliki kekuasan. Kerbau tersebut diduduki oleh dua mahkluk sebagai perlambang orang tua (ukuran lebih besar) yang sedang memegang badan anaknya (ukuran lebih kecil) serta menelan sebahagian kepala anaknya. Seolah-olah memberi gambaran akan menelan sang anak. Sangkalon dipajang pada bagian depan Sopo Godang (Tempat Musyawarah di Istana), yang fungsi Sopo Godang ini salah satunya digunakan untuk tempat proses peradilan oleh Raja. Sangkalon ini pada akhir-akhir era ini hanya terlihat ada di Bagas Godang di wilayah Ulupungkut Mandailing.

Tentu menjadi sangat menarik ketika Sangkalon tersebut menunjukkan gambaran adanya mahkluk yang dengan ukuran lebih besar menelan sebahagian kepala anaknya bahkan dipersepsikan akan menelan anaknya.  Tentulah hal ini kemudian menjadi multi tafsir bagi orang yang peduli terhadap keberadaan Sangkalon yang ada di Sopo Godang di istana raja-raja di wilayah Ulupungkut Mandailing. Termasuk pemahaman seolah-olah menunjukkan keprimitifan bahkan kebarbaran. Hewan saja, yang tidak memiliki peradaban, belum tentu akan memakan anaknya. Lantas, mengapa pula ada Sangkalon yang menunjukkan kondisi keprimitifan dan kebarbaran tersebut di kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Ulupungkut Mandailing. Inilah yang membuat pentingnya penjelasan keberadaan Sangkalon, sehingga masyarakat Mandailing tidak dianggap salah bahkan barbar oleh masyarakat luar.

Sangkalon berasal dari kosa kata Mandailing yakni “sangkal” (cara membaca; sangkaal), yang artinya sangat “luar biasa”. Sehingga sangkalon itu sendiri memang ingin menunjukan keluarbiasaan dalam keberadaannya di mata Bangsa Mandailing.  “Sipangan” berasal dari kosa kata Mandailing “pangan” yang artinya “makan”. Kata tersebut diberi awalan “si” menjadai sipangan sehingga bermakna menjadi “pemakan”. “Anak” memiliki arti anak dengan jenis kelamin laki-laki, sedangkan “boru” dalam kalimat ini dimaknai sebagai anak dengan jenis kelamin perempuan. Dengan demikian Sangakalon Sipangan Anak Sipangan Boru dipahami sebagai Sangakalon, memakan anak laki-laki dan anak perempuannya. Dapat dimaknai bahwa benda ini mewujudkan persepsi manusia sebagai sesuatu yang benar-benar sangat luar biasa yakni kondisi mahkluk yang berani memakan putra dan putri kandungnya sendiri. Maka sangat tepat diberikan nama Sangakalon sebagai sesuatu yang luar biasa. 

Kepantasan sebutan nama Sangakalon sesuai dengan makna Sangakalon itu sendiri bagi peradaban Mandailing sebagai fostur hukum yang menunjukan bahwa Bangsa Mandailing memiliki hukum dan proses hukum yang sangat adil dan tidak pandang bulu. Sangakalon merupakan lambang keadilan Bangsa Mandailing yang bila ada kesalahan meskipun pelakunya bagian dari dalam istana termasuk putra dan putri raja akan tetap diproses sesuai keadilan di siding hukum adat kerajaan.  Dengan demikian sangat jelas bahwa Sangakalon bukan  perlambang Bangsa Mandailing sebagai kaum pemakan daging manusia. Akan tetapi melambangkan setiap keadilan mesti ditegakkan meskipun terhadap anak kandung sendiri.

Sangat jelas bahwa “Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru” adalah pola penerapan hukum yang adil terhadap siapapun, sekalipun terhadap anak (laki-laki dan perempuan) sendiri dan kaum-kerabat bagi Bangsa Mandailing harus ditegakkan. Format hukum ini telah berpraktik sejak zaman dahulu kala.  Artinya, bagi Bangsa Mandailing telah memiliki format hukum dengan kedudukan yang sangat penting dan perannya yang begitu besar dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai bagian integral (tidak terpisahkan) dari aspek-aspek kehidupan bermasyarakat lainnya seperti sistem kepercayaan, moral dan adat istiadat.  

Sangkalon ini juga menunjukan bahwa Bangsa Mandailing dahulu kala, pada saat masih menganut sistem kepercayaan sebelum masukknya pemahaman agama Islam, yang masih memuja roh-roh leluhur yang dinamakan Si Pele Begu, ternyata Sangkalon telah ada sebagai perlambang (simbol), yang digunakan sebagai lambang hukum dan keadilan. Lebih lanjut makna dari nilai falsafah hukum dan keadilan yang terkandung secara simbolik dalam Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru, adalah bahwa Bangsa Mandailing dalam sistem pemerintahan kerajaan sejak dulu telah menata keberadaan hukum dan keadilan dengan baik. Sepatutnyalah menjadi alas penataan kehidupan bagi Bangsa Mandailing untuk tetap potensial dalam berkontribusi memajukan peradaban dan budaya hukum dalam tatanan kehidupannya.  

Prinsip-prinsip keadilan yang dianut dengan baik dalam peradaban Mandailing di masa lalu ternyata cukup mendasar bagi hukum universal.  Betapa beradabnya Bangsa Mandailing sejak masa lalu yang harus difitrahi kembali dalam tatanan hidup Bangsa Mandailing dimanapun berada.


Semoga Bermanfaat. 


Mr D Guru Godang

Salam dari Bumi Gordang Sambilan









Posting Komentar untuk "SANGKALON (Sipangan Anak Sipangan Boru)"