MANYANTAN (Tradisi Bersyukur yang Terlupakan)
mdaudbatubara.id, Mandailing memiliki perdaban yang tergolong baik dan detail. Sayangnya saat ini banyak yang tidak terawat, bahkan perubahan zaman yang sangat cepat, cenderung telah menggerus dengan cepat Kebudayaan Mandailing. Masih harus disukurkan memang, karena masih banyak hal yang bernilai tinggi dari peradaban kita yang masih terawat. Sebut saja hal kecil tapi memiliki nilai seperti Tradisi Manyantan sebagai tata cara bersyukur kepada Sang Maha Pemurah atas perolehan benda mati yang dapat bergerak atau dipindahkan, yang bagi pemiliknya benda tersebut memiliki nilai tinggi. Namun tradisi manyantan ini sudah banyak yang tidak dipahami masyarakat sendiri, bahkan ada yang tidak pernah tau sama sekali.
Benda yang disantan, biasanya sudah termasuk bagian kebutuhan sekunder, yang lebih pada menunjukkan prestasi hidup atas kegigihan kerja atau peningkatan kapasitas diri. Sehingga bagi orang Mandailing hal ini patut diresmikan dengan cara adat tersendiri. Ini menggambarkan bahwa peradaban Mandailing sudah sampai pada pengaturan tata cara mensukuri perolehan dari yang Maha Pengasih secara adat. Tradisi rasa syukur terhadap keberhasilan sendiri, sebagai peresmian yang menggambarkan rasa syukur terhadap kesuksesan atas perolehan benda yang tidak bergerak, berbeda pula dengan rasa sukur terhadap benda mati yang dapat bergerak atau digerakkan seperti “Mangulosi Tondi” bagi orang yang sedang berbahagia atau, “Mabongkot Bagas Na Imbaru” (meresmikan rumah baru) untuk jenis benda yang tidak bergerak.
Lebih lanjut mari dicermati deskripsi sederhana tentang Manyantan. Manyantan berasal kata dari Santan yakni jenis air yang diperas dari daging kelapa tua yang diparut. Santan ini biasanya digunakan masyarakat Mandailing sebagai penyedap dalam berbagai jenis makanan. Sedangkan manyantan adalah salah satu prosesi adat kebahagiaan (tergolong siriaon), yang peralatan utama salah satunya adalah santan.
Manyantan dilakukan sebagai bentuk kesukuran telah memperolah benda mati dalam ukuran secara fisik yang tergolong besar, dengan nilainya yang luar biasa dan benda itu biasanya bergerak atau dapat digerakkan. Benda ini seperti pedati di masa lalu atau kenderaan bermotor saat ini.
Santan dalam acara Manyantan adalah sebentuk Panganan yang bahannya terdiri dari gula merah, beras pulut, sedikit garam dan satan murni (tidak dicampur air). Cara meramunya sangat mudah dan simpel yakni:
Pertama, beras pulut disiram dengan air mendidih pada bejana yang disiapkan sampai beras pulut tersebut terasa lebih lembut. Jadi hanya disiram air panas mendidih, bukan dimasak di atas bara api, kemudian airnya dibuang untuk mengeringkan beras pulut yang sudah lembut.
Kedua, gula merah diiris sampai halus dengan jumlah kebutuhan yang diperbandingkan dapat merubah cita rasa beras pulut menjadi manis. Kemudian gula tersebut disatukan dengan beras pulut.
Ketiga, beras pulut dan gula tersebut di siram dengan santan murni yang sudah dicampur dengan sedikit garam. Kesemuanya diaduk sehingga menyatu antara satu dengan yang lain. Namun harus benar dicermati penggunaan santan jangan sampai terlihat ada kuahnya. Dengan demikian santan rasanya manis dengan kekhasan sindiri pada beras pulutnya.
Prosesi acara Manyantan, dapat dilakukan mulai dari cara yang sederhana dengan hanya melibatkan keluarga dekat, tetangga bahkan sampai orang sekampung. Sebut saja sesorang dengan kegigihannya telah memperoleh pedati lengkap dengan kerbaunya atau sadu/andong lengkap dengan kudanya pada zaman itu. Kemudian belakangan ini alat transportasi tersebut berkembang pada kenderaan roda empat baik bentuk bus, angkutan kecil maupun kenderaan untuk pribadi. Maka sipemilik akan mengundang orang yang menurut beliau pantas untuk hadir dalam acara dengan tujuan utama membawa anak-anak hadir ke acara terutama yang belum dewasa.
Lebih lanjut di awali dengan penyampaian rencana Manyantan yang intinya rasa syukur, yang lokasinya dilakukan ditempat benda yang di santan. Diteruskan dengan doa dari guru agama setempat. Kemudian santan dibagikan dalam Tapak (piring kecil, Bahasa Mandailing), yang diutamakan pada anak-anak yang hadir, selanjutnya pada orang tua. Sebahagian santan di tabur ke mesin dan body kenderaan tersebut dengan ucapan horas... berkali-kali sebagai rasa syukur saat itu. (Catatan: saat ini menabur tidak lagi dilakukan karena tidak sesuai dengan ajaran agama, membuang-buang makanan).
Falsafah dan makna Manyantan, tentulah para leluhur orang Mandailing sudah memikirkan makna dari falsafah manyantan, yang inti falsafah tersebut adalah rasa rasa syukur dan berbagi kebahagiaan sebagai ibadah sosial. Berikut makna yang perlu kita cermati.
Pertama, nilai ibadah sebagai moment mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Alloh bersama keluarga kerabat yang hadir.
Kedua, ibadah sosial rasa sukur berbagi kebahagian, dimana luapan rasa kebahagian itu harus dibagi bersama dengan orang lain setidaknya dengan keluarga terdekat.
Ketiga, nilai ibadah sosial untuk berbagi bersama, atas apa yang telah diperoleh dibagikan sebahagian untuk yang lain, dalam hal ini fokusnya pada anak-anak.
Kempat, nilai ibadah pendidikan, dengan memfokuskan Santan pada anak-anak untuk mendidik mereka dengan memberi moment penting atas satu keberhasilan. Moment ini menjadi ingatan yang kuat padanya yang diharapkan memunculkan semangat dan cita-cita yang tinggi bagi generasi berikutnya memperoleh hal yang sama bahkan capaian yang lebih dari apa yang sedang di santan, kiranya mereka peroleh pada masanya nanti.
Kelima, nilai ibadah sosial, dimana dalam acara tersebut sipemilik akan membuat pernyataan dalam lisannya bahwa benda yang di santan dapat digunakan dalam hal keperluan masyarakat terutama dalam hal terjadinya kemalangan. Dengan demikian peryataan lisan ini mengikat dirinya untuk melakukan yang terbaik untuk keperluan sosial masyarakat.
Keenam, nilai dorongan bagi kerabat yang hadir untuk memiliki semangat yang lebih tinggi dan cara yang lebih baik dalam mencari kehidupan dengan meneladani orang yang sedang Manyantan.
Ketujuh, pamborgoi (mengademkan) dalam arti bahasa adat yakni mendoakan secara bersama-sama dengan kaum kerabat agar benda yang di santan memberi manfaat banyak, terhindari dari marabahaya dan nyaman untuk digunakan.
Perlu dipahamkan bahwa dalam Orja Bolon juga ada rangakian proses adat yang disebut Manyantan Gordang, yang maknanya sedikit berbeda dan moga kesempatan lain dapat dideskripsikan.
Semoga Bermanfaat.
Mr D Guru Godang
Salam dari Bumi Gordang Sambilan
Posting Komentar untuk "MANYANTAN (Tradisi Bersyukur yang Terlupakan)"